
Medan –
Tragedi Gerakan 30 September 1965 yang dikenal dengan G30S PKI menjadi sejarah kelam bagi bangsa Indonesia. Pemberontakan ini tidak hanya terjadi di Jawa, tetapi menyebar ke seluruh wilayah termasuk Sumatera Utara.
Peristiwa G30S PKI terjadi pada tahun 1965. Gerakan ini diprakarsai oleh Dipa Nusantara Aidit alias DN Aidit. Saat itu DN Aidit menjadi pimpinan PKI. Ia juga kemudian menjadi pemimpin terakhir PKI.
Sejarawan muda Kota Medan, M. Azis Rizky Lubis PKI adalah partai yang didirikan tokoh Belanda, Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet. Partai ideologi komunis ini didirikan pada tahun 1914.
PKI adalah salah satu partai tertua dan terbesar yang pernah ada di Indonesia. Partai ini menampung kaum intelektual, pekerja, dan petani. Konsistensi PKI dalam melawan segala bentuk penindasan, sehingga menarik minat kelompok ini untuk bergabung dengan partai yang kini menjadi partai terlarang.
“Maka tidak mengherankan jika jumlah anggota partai ini semakin hari semakin bertambah. Bertambahnya anggota dan simpatisan PKI ini kemudian menuntut partai ini untuk terus berkembang dengan membuka cabang di luar Pulau Jawa,” kata Azis. momen SumateraKamis (29/9/2022).
Azis mengatakan pusat kegiatan PKI ada di Jawa. Namun, gerakan yang dilakukan di luar pulau Jawa juga menarik perhatian masyarakat yang berprofesi sebagai buruh, petani, dan masyarakat miskin di Sumatera Utara.
Di Sumatera Utara (bekas Perumahan Sumatera Timur dan Tapanuli), misalnya, banyaknya peternakan di wilayah ini akan menjadi sasaran empuk bagi PKI untuk melebarkan sayapnya. Melalui perhatian yang diberikan, serta pendidikan politik, orang secara sadar atau tidak sadar bergabung dengan partai ini.
“Petani lahan ini kemudian secara tidak langsung menjadi ‘sarang’ anggota dan simpatisan PKI, meski harus diakui tidak semua buruh yang bekerja di lahan tersebut terlibat di dalamnya,” ujar Azis yang juga dosen USU. Fakultas Sejarah FIB. .
Menurut Azis, mereka yang menjadi anggota atau simpatisan kemudian ditempatkan di organisasi sayap PKI sesuai kepentingan atau latar belakangnya. Organisasi tersebut antara lain SOBSI (Organisasi Buruh Indonesia Pusat), Pemuda Rakyat, Gerwani, Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) Front Tani Indonesia (BTI), dan Ikatan Cendekiawan Indonesia.
Lalu, di Sumut, hampir semua peternakan PKI kuat. Lokasinya tersebar di Tanjung Morawa kemudian, Kampung Kolam hingga Sampali.
Di Kampung Kolam sendiri sekarang sudah ada Tugu Ampera. Tugu tersebut menceritakan peristiwa yang terjadi pada tahun 1965 ketika gelombang penolakan terhadap PKI semakin berkembang, khususnya di Medan, Sumatera Utara.
Penolakan ini muncul dari siswa yang tergabung dalam kelas 66 Ampera. Dalam peristiwa itu, yang memicu tewasnya dua orang, salah satunya bernama M. Yakub Lubis.
Kemudian, di sebuah ladang tepatnya di Bandar Betsi, seorang prajurit bernama Peltu Sujono menjadi korban dalam pertempuran yang terjadi antara masyarakat dengan ladang di ladang tersebut. Peristiwa kekerasan PKI ini kemudian diabadikan dalam sebuah monumen yang terletak di dekat stasiun kereta api.
Setelah bersinar, gerakan PKI meredup setelah G30S PKI. Kekerasan mulai melanda Sumut sehari setelah kejadian.
“Informasi kekerasan PKI di Jawa sampai di Sumut pada 1 Oktober,” kata Azis.
“Awalnya para pejabat di daerah tidak mengetahui maksud dari kejadian tersebut. Pada malam harinya, setelah berita tersebut tersebar, Petugas Konsuler Amerika di Medan mengirimkan telegram yang kurang lebih berisi permintaan izin untuk memberikan semua bentuk tersebut. informasi kepada Pangdam 1 Sumut, Mayjen AY Mokoginta, untuk membantu kelompok antikomunis dalam mengambil keputusan yang tepat,” kata Azis.
Sehari setelah mengirim telegram, kata Azis, Wakil Pangkostrad Brigjen Kemal Idris bersama Menlu Subandrio yang didampingi petinggi KOANDA 1 menyimpulkan bahwa gerakan yang terjadi pada 30 September itu merupakan gerakan yang dilakukan. keluar. kiri kiri.
Subandrio kemudian berinisiatif mengerahkan massa antikomunis untuk menggelar aksi massa di pusat kota. Pada 5 Oktober 1965, Mayjen AY Mokoginta berpidato di Medan. Dalam orasinya, Mokoginta mengatakan bahwa Gerakan 30 September adalah gerakan “Kontra Revolusi”. Dengan pidato itu, Komando Aksi Pemuda kemudian mengambil tindakan lebih lanjut untuk menuntut PKI dan sayap organisasinya menjadi partai dan organisasi terlarang,” kata Azis.
Kemudian, pada 2 November 1965, pengunjuk rasa semakin besar. Sebanyak 10.000 orang berdemonstrasi menuntut pelarangan PKI.
“Di pusat kota. Kalau tidak salah tafsir, bisa juga di kantor gubernur, karena salah satu tuntutannya adalah memecat Gubernur Ulung Sitepu yang saat itu dianggap terlibat,” ujar Azis.
“Semoga peristiwa ini tidak terlupakan dan kita jadikan sebagai pendidikan bagi kita dan generasi muda sebagai bagian dari perjuangan menegakkan ideologi Pancasila. Lalu, tentu saja kami berdua berharap akan kegelapan ini. kejadian itu tidak akan terulang lagi,” kata Azis.
Simak Video “Lukas Tumiso, Eks Tahanan yang Selamat dari Pulau Buru”
[Gambas:Video 20detik]
(dm/dpw)