
agama –
“Jangan tanya apa yang diberikan negara kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada rakyatmu.” Itulah kutipan dari mantan Presiden Amerika Serikat, John F Kennedy, yang sering digunakan untuk mengobarkan semangat nasionalisme dan bela negara.
Jauh sebelum vonis dijatuhkan, masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat sudah menerapkan nilai-nilai tersebut. Bersama-sama mereka menyumbangkan aset mereka untuk membeli pesawat pertama bagi negara. Dua pahlawan nasional, Iswahyudi dan Halim Perdanakusumah, lahir dari pesawat ini.
Pesawat itu adalah Avro Anson. Replika tersebut terlihat jelas di pinggir Jalan Raya Bukittinggi-Medan, tepatnya di kawasan Gaduik, Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Lokasi tugu pesawat ini dulunya adalah sebuah bandara di Sumatera Barat.
Menurut budayawan Minangkabau Hasril Chaniago, pada era pergerakan dan kemerdekaan, Sumatera Barat memiliki tiga lapangan terbang. Yaitu Bandara Tabning di Padang yang dikuasai Belanda, lalu Bandara Gaduik dan Bandara Piobang di 50 kabupaten kota.
“Dari Gadut, Bung Hatta pernah terbang ke India memenuhi undangan Nehru (Perdana Menteri India),” ujar Hasril dalam perbincangan dengan detikSumut, Sabtu (27/8/2022).
Mengenai Avro Anson, mungkin banyak yang lupa bahwa pesawat ini memiliki sejarah penting dalam perjalanan bangsa Indonesia, terutama mengenai nasionalisme dan semangat bela negara. Avro Anson dibeli dengan menggunakan emas milik amai-amai, begitu ibu-ibu menyebutnya di Minangkabau.
“Pembelian Avro Anson adalah bentuk bela negara yang sebenarnya, bagaimana orang berkontribusi pada negaranya. 15 tahun sebelum Kennedy menyampaikan pidato untuk bela negara, jangan tanya apa yang negara berikan kepada Anda, tapi tanyakan apa yang Anda miliki. diberikan kepada negara, orang Minang sudah melakukannya,” ujarnya.
Menurut Hasril, Avro Anson berawal dari keinginan Wakil Presiden Bung Hatta yang berkantor di Bukittinggi agar negara memiliki pesawat terbang. Menurut sejarah, Bung Hatta berkantor di Bukittinggi untuk mempersiapkan Sumatera sebagai daerah alternatif (jika Yogya jatuh) pada periode Juni 1947 sampai Februari 1948.
Saat itu Bung Hatta berkantor di Istana Bung Hatta yang letaknya tepat di depan Jam Gadang. Dulu, Istana Bung Hatta disebut Big Guest House atau Wisma Negara.
Avro Anson, pesawat Indonesia pertama yang dibeli dari patungan masyarakat Minangkabau. (Foto: Jeka Kampai/detikSumatra)
Keinginan untuk memiliki pesawat terbang merupakan impian besar yang sulit terwujud saat itu, karena Indonesia tidak memiliki cadangan devisa yang cukup saat itu. Maka muncullah ide untuk menginspirasi ibu-ibu yang terbiasa mengoleksi emas. Bung Hatta punya ide untuk membeli pesawat terbang.
“Bung Hatta mengetahui bahwa masyarakat Minang memiliki kebiasaan menimbun emas sejak lama. Pada bulan September dibentuk panitia pengumpulan emas untuk membeli pesawat terbang. Tuan Abdul Karim ditunjuk sebagai ketuanya, Direktur Bank Nasional. Itu dilengkapi tokoh-tokoh lain seperti Khatib Sulaiman, Buya Hamka dan lain-lain. Kemudian diadakan rapat dan diumumkan bahwa Republik membutuhkan pesawat terbang, tetapi kami tidak punya uang,” kata Hasril.
“Kalau begitu sentuhlah perempuan-perempuan itu, karena perempuanlah yang menyimpan emas. Itu sudah menjadi tradisi masyarakat Minangkabau sejak dahulu kala. Maka, pada 17 September 1947 terkumpul 14 kilo emas, kurang lebih satu kaleng roti dan biskuit. Emas ini nanti dicairkan jadi emas padat. Jadi kita cari. Apa ada pesawat yang bisa dibeli,” ujarnya lagi.
Avro Anson, pesawat Indonesia pertama yang dibeli dari patungan masyarakat Minangkabau. (Foto: Jeka Kampai/detikSumatra)
Akhirnya diperoleh pesawat yang merupakan pesawat jenis Avro Anson milik Paul Keegan, mantan pilot British Australia. Pada awal Desember 1947, pesawat dikirim langsung oleh Keegan ke Bukittinggi.
Namun, Keegan meminta agar pembayaran dilakukan di Singapura atau di luar negeri. Shongkla di Thailand Selatan adalah pilihan, karena Keegan tidak dapat masuk kembali ke Singapura. Dari Bukittinggi, sebuah pesawat diterbangkan ke Shongkla untuk menemani Keegan.
Untuk menerbangkan pesawat tersebut, Iswahyudi didatangkan sebagai pilot dan Halim Perdanakusumah sebagai navigator.
Pesawat berangkat ke Shongkla pada 10 Desember 1947. Selain mendampingi Keegan, mereka juga bertugas sebagai penghubung dengan pedagang lokal. Setelah menyelesaikan misi, pesawat kembali ke Indonesia pada 14 Desember 1947.
Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba di kawasan Perak Malaysia, tepatnya di Tanjung Hantu, pesawat terjebak cuaca buruk dan pesawat jatuh. Iswahyudi dan Halim Perdanakusumah diketahui tewas akibat peristiwa tersebut. Jenazah Halim Perdanakusumah ditemukan nelayan setempat, sedangkan Iswahyudi sama sekali tidak ditemukan.
“Meski tidak digunakan untuk perjuangan, (pesawat) itu merupakan sumbangsih besar rakyat Minangkabau untuk Republik yang akhirnya melahirkan dua pahlawan nasional, yakni Iswahyudi dan Halim Perdanakusumah,” jelas Hasril.
Avro Anson, pesawat Indonesia pertama yang dibeli dari patungan masyarakat Minangkabau. (Foto: Jeka Kampai/detikSumatra)
Selama ini diketahui luas bahwa pesawat pertama Indonesia adalah Seulawah dari Banda Aceh. Meski kata Hasril lagi, sebenarnya itu adalah Avro Anson yang lebih awal, karena sudah ada di tahun 1947.
Lalu kenapa Avro Anson berkode RI-003 bukan RI-001? “Itu soal penomoran saja, karena mungkin belakangan diketahui Avro Anson sudah ada sebelum Seulawah. Setahu saya, TNI AU sudah mengoreksinya,” tambahnya.
Terlepas dari itu, Avro Anson hadir sebagai wujud cinta dan wujud nyata bela negara dari rakyat.
Simak Video “Kekayaan Budaya Minangkabau di Museum Budaya Bukittinggi”
[Gambas:Video 20detik]
(dpw/dpw)