
Jakarta, CNBC Indonesia – Belakangan ini publik dihebohkan dengan isu kuatnya dukungan terhadap penambangan liar yang diungkap Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka di akun media sosial Twitter miliknya.
Namun, ternyata isu penambangan liar bukanlah hal baru, dan tidak hanya muncul pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), melainkan sudah ada sejak Orde Baru ketika Presiden Soeharto menjabat.
Hal itu diungkapkan Pengamat Hukum Pertambangan Wahyu Nugroho. Wahyu mengatakan, masalah penambangan liar sudah ada sejak zaman Orde Baru. Masalah penambangan liar terutama adalah penambangan pasir dan penambangan batu sebagai bahan galian bukan logam.
IKLAN
GULIR UNTUK LANJUTKAN KONTEN
“Masalah pertambangan sebenarnya sudah terjadi sejak Orde Baru, terkait masalah penambangan liar terutama pasir, kemudian penambangan batuan yang merupakan mineral bukan logam,” katanya dalam program CNBC Indonesia Mining Zone, dikutip dari Kamis (12/1/2022).
Wahyu mengaku tidak heran dengan maraknya isu penambangan liar di Indonesia saat ini. Dia menyatakan, adanya dukungan yang mengerikan itu menjadi masalah yang pelik dan tidak bisa dilihat dari segi hukum saja.
“Soal dukungan pertambangan, saya tidak heran dan tidak heran karena ini masalah yang agak lama, pelik, agak pelik. Tapi dilihat bukan hanya masalah hukum, tapi ini masalah ekonomi, sosial budaya, ” dia berkata.
Selain itu, kata Wahyu, para pendukung pertambangan yang diprediksi mengerikan adalah anggota aparat penegak hukum. Sehingga menurutnya perlu adanya penindakan penegakan hukum yang terintegrasi melalui pendekatan multi sistem.
“Menurut saya, para pembela pertambangan merupakan unsur aparat penegak hukum yang harus melakukan penindakan penegakan hukum secara terpadu melalui pendekatan multi sistem,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengakui maraknya penambangan liar sangat merugikan negara. Apalagi, jumlah tambang ilegal di Tanah Air mencapai ribuan. Penambangan liar berarti kegiatan penambangan tidak memiliki izin dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Selain merusak lingkungan, para penambang liar ini tentu tidak memberikan kontribusi terhadap pendapatan negara. Penerimaan negara dari pertambangan biasanya berasal dari pajak dan bukan pajak, seperti royalti, sewa tanah, dll.
Adapun untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pertambangan mineral dan batubara pada tahun 2021, berdasarkan data Minerba One Data Indonesia (MODI) dari Kementerian ESDM tercatat sebesar Rp 75,48 triliun.
“Makanya (tambang liar), negara rugi banyak,” ujarnya saat ditemui usai pembukaan Rapat Koordinasi Penanaman Modal (Rakornas) 2022 di Jakarta, Rabu (30/11/2022).
Arifin mengatakan Kementerian ESDM saat ini sedang menindaklanjuti kasus penambangan liar yang digembar-gemborkan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka. Arifin mengklaim Kementerian ESDM akan mengirimkan inspektur pertambangan yang akan mengevaluasi izin pertambangan ilegal.
“Jadi izinnya dari sini. Nanti kami kirim inspektur tambang ke lokasi dan juga akan kami evaluasi reviewnya, izin dulu bagaimana,” ujarnya.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2021, jumlah Penambangan Tanpa Izin (PETI) alias penambangan liar telah mencapai 2.700 titik lokasi, terdiri dari 2.645 lokasi penambangan mineral ilegal dan 96 lokasi penambangan batu bara ilegal.
Menyusul maraknya penambangan liar, Kementerian ESDM sebelumnya berencana membentuk satuan hukum baru khusus untuk menangani penegakan hukum dalam kegiatan pertambangan yang terbukti melakukan penyimpangan.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Berikutnya
Gibran Ungkap Dukung Penambangan Ilegal, Hadiahnya: We Raid!
(wow)