
Jakarta, CNBC Indonesia – Awal pekan lalu, negeri yang dikenal sebagai ‘seribu lampu’ itu tampak gelap gulita di tengah kawasan sekitarnya. Ini akibat pemadaman listrik di Pakistan pada Senin (23/1/2023). Situasi ini memperburuk krisis yang melanda negara.
Menurut pihak berwenang Pakistan, penyebab pemadaman itu karena lonjakan tegangan tinggi di daerah tersebut. Itu adalah kegagalan jaringan besar kedua dalam tiga bulan, dan menambah rekor pemadaman listrik yang dialami oleh hampir 220 juta orang di negara tersebut.
Situasi pemadaman besar-besaran adalah akibat dari kurangnya sumber daya untuk menggerakkan pembangkit listrik milik negara seperti minyak dan gas, menurut analis. Menurut mereka, sektor ini sangat berhutang sehingga tidak mampu berinvestasi di bidang infrastruktur dan saluran listrik.
IKLAN
GULIR UNTUK LANJUTKAN KONTEN
“Kami telah menambah kapasitas, tetapi kami melakukannya tanpa meningkatkan infrastruktur transmisi,” Fahad Rauf, kepala penelitian di broker Karachi Ismail Iqbal Industries, mengatakan kepada Reuters.
Ya, situasi ini menambah rentetan penderitaan krisis yang dialami oleh masyarakat di negeri ini. Ini karena Pakistan juga mengalami krisis bloat dan valuta asing pada saat yang bersamaan.
Pada 6 Januari, Bank Negara Pakistan dikabarkan hanya memiliki devisa US$ 4,34 miliar (Rp 64 triliun). Ini hanya akan memenuhi persyaratan impor untuk tiga minggu ke depan. “Penurunan devisa ini karena pelunasan pinjaman komersial sebesar US$ 1 miliar kepada dua bank yang berbasis di Uni Emirat Arab,” tulis Financial Post.
Pengiriman uang dari dalam negeri juga mencatat pelemahan. Pada periode Juli-Desember 2022, pengapalan tercatat US$14,1 miliar, lebih rendah US$1,7 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Adapun nilai rupiah, terjadi depresiasi mata uang terhadap dolar AS. Data dari Trading Economics menyebutkan bahwa selama empat minggu terakhir, rupee Pakistan telah melemah sebesar 2,21% terhadap dolar AS.
Sedangkan pada sektor industri juga mengalami penurunan dengan sektor manufaktur besar mencatatkan penurunan sebesar 7,75%. Pertanian di Pakistan juga dalam keadaan genting, karena kebijakan pemerintah yang buruk, kurangnya investasi dan kurangnya otomatisasi. Dengan situasi ini, Pakistan juga terdorong inflasi hingga 31% year on year (yoy). Semua faktor ini telah meningkatkan kesulitan sehari-hari di Pakistan, terutama dalam kaitannya dengan sumber daya pangan dan energi.
Selain pangan dan energi, obat-obatan juga termasuk barang yang mengalami penurunan selama 6 bulan terakhir di negeri ini. Pakistan juga kehabisan obat demam dan pereda nyeri umum, Panadol, pada September 2022 ketika dilanda banjir parah dan wabah demam berdarah. Bahkan obat-obatan yang digunakan untuk mengobati diabetes, serta suplemen Vitamin C juga tidak banyak tersedia.
Untuk menghadapi situasi ini, Islamabad mencari dukungan keuangan dari negara-negara seperti China dan Arab Saudi serta Dana Moneter Internasional (IMF). Sejauh ini, IMF sendiri akan mengucurkan dana senilai US$ 6 miliar untuk membantu negara Ali Jinnah.
“Untuk mendukung Pakistan, Arab Saudi telah menyatakan kesediaannya untuk menyetor US$2 miliar lagi ke Bank Nasional Pakistan, setelah melakukan ‘studi’. Bantuan serupa juga diharapkan dari China,” tambah laporan Financial Post.
Selain itu, pemerintah negara itu juga mengambil langkah untuk menjual gedung tua Kedutaan Besar Pakistan di Washington DC yang diperkirakan bernilai US$ 5-6 juta.
“Kedutaan Besar Pakistan di Amerika Serikat telah mendapat persetujuan dari kantor luar negeri untuk menjual gedung lamanya, yang telah ditinggalkan selama 15 tahun terakhir,” kutip kantor berita ARY.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Berikutnya
Oh Naga! Negara Asia Ini Ingin Bangkrut, BBM Ingin ‘Kiamat’
(pgr/pgr)