
Medan –
Selain Letjen Jamin Ginting, Kiras Bangun adalah pahlawan nasional dari Karo, Sumatera Utara. Kiras Bangun juga menjadi aktor yang bekerja keras melawan penjajahan Belanda.
Kiras Bangun (lahir tahun 1852) atau sering dipanggil Garamata atau Mata Merah adalah seorang pendekar dari Desa Batukarang, Kabupaten Karo. Lantas bagaimana perjuangan Kiras Bangun sebagai seorang pejuang?
Sejarawan muda Kota Medan, M Azis Rizky Lubis menjelaskan, Kiras Bangun sedang berjuang dalam situasi di mana Belanda melakukan ekspansi ke wilayah Sumatera Timur termasuk wilayah Karo.
Saat itu Belanda mencoba merambah wilayah yang dianggap sebagai perluasan tanah desa atau tanah adat milik masyarakat.
“Situasi ini menimbulkan persepsi negatif masyarakat Karo terhadap Belanda. Bahkan, masyarakat membakar lumbung-lumbung pertanian yang dibangun Belanda,” ujarnya saat diwawancarai, Minggu (3/6/2022).
Dalam konflik tersebut, lanjutnya, Belanda mampu meredam perlawanan yang diberikan masyarakat Karo. Pada masa inilah Kiras muncul sebagai sosok yang mampu mempersatukan masyarakat lintas suku dan agama untuk memperkokoh posisi wilayah Karo.
Meski tidak mengenyam pendidikan formal, saat itu Kiras dikenal sebagai orang yang pandai, dan mau belajar hal-hal baru hingga mampu menguasai bahasa Melayu, membaca dan menulis.
Kiras juga dianggap sebagai orang yang bijak, dan ahli dalam bernegosiasi. Tak heran seluruh masyarakat bisa dipersatukan olehnya. Belanda yang sudah mengetahui posisi Kiras Bangun kemudian memintanya untuk ‘berdamai’.
Belanda menjanjikan uang, pangkat dan berbagai janji lainnya agar Kiras bisa dipegang dan dikuasai. Namun, tawaran tersebut ditolak oleh Kiras.
Belakangan, Pendeta Guillaume, didampingi oleh tentara Belanda bersenjata lengkap, memasuki tanah Karo pada tahun 1902. Hal ini menghangatkan hubungan antara Belanda dan Kiras.
Kiras meminta Pastor Guillaume untuk meninggalkan daerah Karo. Guillaume kemudian pergi setelah 3 bulan hidup dan melakukan aktivitasnya. Akibat kejadian tersebut, pihak Belanda kemudian memutuskan untuk berperang dengan masyarakat Karo.
“Kiras kemudian bergerak berkonsultasi dengan para sibayak/urung dan pejabat lainnya yang memiliki pasukan. Saat itu Kiras berhasil mengumpulkan 3.000 pasukan yang terdiri dari berbagai ras dan agama,” ujarnya.
Pada tanggal 6 September 1904, dilakukan operasi militer Belanda terhadap tanah Karo. Dua hari setelah kedatangannya, tentara Belanda berhasil menduduki daerah Kabanjahe, kemudian Lingga dan Lingga Julu.
Hal itu kemudian membuat Kiras dan pasukannya bergerak ke Batukarang, di benteng Tembusuh. Di benteng ini Belanda tidak bisa menembus pertahanan Kiras dan pasukannya.
Kegagalan ini tidak menyebabkan Belanda menyerah. Belanda kemudian melancarkan serangan lagi. Pada serangan kedua, Belanda berhasil merebut daerah Batukarang.
Hampir 10 bulan setelah perjuangan tersebut, Kiras dan timnya terus melakukan perlawanan terhadap Belanda. Untuk memancing Kira dan pasukannya keluar dari benteng mereka, Belanda menerapkan strategi pemberian amnesti kepada para prajurit Karo yang ingin meninggalkan pertahanan mereka.
Amnesti ini disebut Opportinuteits Beginsiel atau amnesti umum, kata Rizky.
Satu per satu petarung Karo terpikat oleh tipu muslihat Belanda yang licik ini. Alhasil, saat itu pertahanan yang dibangun Kiras mulai melemah dan memungkinkan Belanda untuk merebut Kiras.
Kiras akhirnya diasingkan ke Riung selama kurang lebih 4 tahun. Pada tahun 1909, Belanda memberinya pembebasan tanpa syarat. Kiras Bangun, sekarang bebas, tidak menyerah pada pengasingan dan penjara Belanda.
Kiras terus memberikan perlawanan bawah tanah kepada Belanda. Ini dilakukan terutama pada periode 1919-1926. Kiras yang sudah tua ditangkap kembali dan diasingkan ke Cipinang.
Hingga akhirnya Kiras meninggal dunia di Batukarang pada 10 Oktober 1942. Baru pada 7 November 2005 Kiras Bangun dinobatkan sebagai pahlawan nasional, jelas Rizky.
Tonton Video “Rasa Sakitnya Disebut Menganggur, Orang Lapangan Tusuk Keponakan”
[Gambas:Video 20detik]
(afb/afb)