
Jakarta –
Faron Ali Baihaqi merasa pesimis mempelajari karena keterbatasan biaya. Pria asal Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur ini justru mendapat ide cemerlang saat didesak.
Faron, begitu dia dipanggil, sudah mengalami masa sulit ketika orang tuanya bercerai di sekolah menengah. Sejak saat itu, ia tinggal bersama neneknya di Muara Badak, sebuah kecamatan di kawasan pesisir Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
“Saat itu saya pesimis bisa kuliah karena tidak ada biaya,” kata Faron seperti dikutip dari situs Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan (Puslapdik) Kemdikbudristek, Jumat (20/1/2023).
Namun, saat duduk di kelas 12 SMK dan sebelum masuknya siswa baru tahun 2016, Faron mengetahui ada program BidikMisi (Biaya Pendidikan Siswa Miskin dan Berprestasi yang tahun 2020 akan menjadi KIP Kuliah).
Faron pun mencoba peruntungan untuk mendaftar KIP Kuliah dan juga mengikuti SNMPTN. Beruntung Faron lolos seleksi SNMPTN dan juga BidikMisi.
Ubah Uang Beasiswa menjadi Modal Usaha
Saat itu, Faron mendapat bantuan hidup dari BidikMisi senilai Rp 3,6 juta per semester atau Rp 600 ribu per bulan. Menurutnya, jumlah uang tersebut tidak cukup untuk menutupi kebutuhannya.
“Kalau saya butuh kuliah mungkin cukup, tapi kebutuhan saya tidak hanya itu, ada kebutuhan lain,” pikirnya saat itu.
Berdasarkan permasalahan tersebut, Faron kemudian mencari peluang secara sempit. Mahasiswa jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mulawarman, Samarinda itu memutuskan menggunakan uang BidikMisi sebagai modal usaha.
Pilihan bisnis Faron jatuh pada bisnis perikanan laut yang sejalan dengan studinya. Faron melihat letak Kota Samarinda yang jauh dari laut menyebabkan harga ikan laut menjadi mahal.
Dengan itu, Faron membeli berbagai jenis ikan laut di kampungnya di Muara Badak dan menjualnya di Samarinda.
“Saya ingat betul, modal awal Rp 1,3 juta untuk membeli 30 kg berbagai jenis ikan laut,” kenang Faron.
Jual Sebelum Masuk Kelas
Setiap pagi pukul 05.00, Faron membeli ikan di pengepul dan membawanya ke Samarinda untuk dijual. Menargetkan penjualan ke penghuni perumahan. Faron mulai kuliah jam 10 pagi, jadi dia memanfaatkan jam 7-9 pagi untuk berjualan.
“Jadi setelah berbisnis, saya langsung ke kampus, pulang kampus sorenya langsung balik ke Muara Badak yang jarak tempuhnya sekitar 1,5 jam, waktu itu saya tidak membawa motor, jadi saya pinjam motor dari teman,” kata Faron.
Dari pengepul, Faron membeli ikan seharga Rp 40.000 per kilo, lalu menjualnya seharga Rp 70.000. Alhasil, Faron mendapat untung Rp 30.000 per kilo.
“Menurut saya dengan harga jual yang lebih murah dari harga pasar ditambah lagi konsumen tidak perlu ke pasar, harus menarik, dan alhamdulillah kita tidak ketinggalan,” ucapnya.
Saat penjualan selesai, Faron akan mendapatkan omzet sebesar Rp 900.000. Dikurangi kebutuhan lain, ia mendapat untung bersih sekitar Rp 700 ribu hingga Rp 800 ribu.
Cobalah Menjadi Eksportir Ikan
Memasuki semester kedua, Faron memperluas target pasarnya ke restoran dan hotel. Jaringan bisnis juga semakin berkembang. Faron mulai mencoba mengekspor dengan bantuan koneksinya dengan sesama penjual ikan. Pada 2018, Faron mulai mengekspor berbagai jenis ikan seperti kerapu, bawal dan lainnya ke China.
Dengan menerapkan ilmu dari bangku mempelajari, Faron menjaga kesegaran ikan agar dipercaya pembeli. Faron kemudian diminta menyiapkan ikan dalam jumlah besar untuk diekspor ke China.
Berawal dari situ, Faron menjadi pengekspor berbagai jenis ikan laut antara lain ikan tenggiri, cumi, kerapu, udang, bandeng, ikan bawal, hingga ikan kakatua. Berawal dari mengekspor ke China, negara tujuan terus berkembang dan kini telah mengekspor ke 14 negara.
“Saya ekspor sesuai permintaan pembeli, ada yang berupa ikan kering, ikan beku segar, ikan segar hidup dan sebagainya,” lanjutnya.
Menjadi Pemilik Dua Perusahaan
Kini, masih menjalin kerja sama dengan investor dari China, Faron memiliki dua perusahaan dan satu lagi masih dalam proses pengurusan akta.
Di perusahaan pertama bernama PT Baruna Maritim Jaya Faron menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO), sedangkan di perusahaan kedua, PT Pelinas Forsam Indonesia, Faron menjabat sebagai komisaris.
Dari dua perusahaan pengolahan dan pembekuan yang berbasis di Balikpapan dan satu gudang, omzet bulanan Faron bisa mencapai Rp 5 miliar hingga Rp 10 miliar!
“Total saya mempekerjakan 60 pekerja dan melibatkan banyak nelayan sebagai pemasok ikan. Jika sebelumnya ikan hasil produksi nelayan dibeli oleh tengkulak dengan harga murah, kini nelayan menjual langsung ke perusahaan saya dengan harga sesuai pasar,” jelasnya. .
Faron juga menjadikan dua perusahaannya tempat magang atau Praktek Kerja Lapangan (PKL) bagi mahasiswa Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Mulawarman dan fakultas lainnya.
“Dulu mahasiswa harus magang atau pedagang kaki lima di Jawa, sekarang mereka bisa bekerja di perusahaan saya,” ujarnya.
Pesan untuk Dosen KIP
Diakui Faron, waktu dan tenaga yang ia curahkan untuk bisnisnya berdampak pada studinya. Kuliah yang bisa dia selesaikan dalam 4 tahun kembali ke 5 tahun.
“Dana Bidikmisi yang diberikan hanya untuk 4 tahun, jadi tahun depan ditanggung sendiri,” ujar Faron.
Faron mengingatkan mahasiswa penerima KIP Kuliah untuk memanfaatkan KIP Kuliah dengan sebaik-baiknya. Melalui Bidikmisi atau yang sekarang kuliah KIPbiaya kuliah termasuk biaya hidup tidak dapat dijadikan sebagai penghalang untuk belajar di universitas.
“Jangan menyerah begitu saja dengan keadaan, pintar-pintarlah melihat peluang yang ada, jangan gengsi, dimana ada kemauan disitu ada jalan,” pungkasnya.
Tonton Video “Kesedihan Mahasiswa Afghanistan Dilarang Kuliah oleh Taliban”
[Gambas:Video 20detik]
(non/fase)