
Pekanbaru –
Indonesia memang sangat terkenal dengan berbagai suku bangsanya. Salah satunya adalah Suku Laut di Riau dan Kepulauan Riau. Suku Laut atau Orang Laut adalah orang-orang yang kehidupannya terikat oleh laut secara keseluruhan, baik kehidupannya maupun kehidupannya. Jadi walaupun sudah hidup di darat, pasti akan kembali ke laut. Ini terutama berlaku untuk orang laut nomaden.
“Kalau dilihat, sebenarnya semua orang laut pasti orang laut. Untuk Orang Laut itu sekelompok orang laut,” kata Presiden Masyarakat Laut Dunia, PRj Haryono saat berbicara di Pekanbaru, Kamis (29). /9/2022).
Orang Laut sendiri memiliki 155 suku. Orang laut telah ada dalam sejarah Kesultanan Indragiri sejak tahun 1936.
Catatan sejarah berupa surat keputusan (SK) tentang keberadaan Orang Laut. SK tersebut kemudian mengacu pada keberadaan pelaut di Indragiri Hilir saat ini.
“Orang laut itu ada dalam catatan Sultan Indragiri tahun 1936, itu surat sultan terakhir tentang orang laut, hari ini semacam perintah,” katanya.
Orang Laut di Indragiri Bawah terdiri dari Orang Laut, Bajau, Rarano dan lainnya termasuk rakit itu sendiri. Orang Laut memiliki bahasa yang berbeda dari satu suku ke suku lain, tetapi ada satu bahasa yang bersatu.
Diakui Haryono, banyak masyarakat yang tinggal di laut seperti Minang, Batak, Bugis, Jawa dan Banjar. Tapi mereka bukan orang laut.
“Ada Minang, Batak, Banjar dan lain-lain. Tapi apakah ini orang laut? Orang Bugis sendiri adalah pelaut yang terampil, tapi orang Bugis bukan orang laut. Lain-lain juga begitu,” kata Hayono.
Habitat dan Kehidupan Orang Laut
Pola pemukiman, pergaulan, sosial, masyarakat laut pasti hidup berkelompok. Dulu, orang laut hidup di perahu atau kano.
Mereka disebut sebagai manusia laut karena melakukan segala aktivitas dan aktivitas kehidupan di laut. Mereka juga menggunakan perahu atau sampan dengan atap tenda sebagai tempat tinggal mereka.
Mereka hidup berpindah-pindah dari pulau ke pulau ke muara sungai (pengembara). Namun mereka tidak hidup sendiri, ada kelompok yang diciptakan agar mereka dapat berinteraksi satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari.
“Untuk mencari nafkah, mereka mencari ikan dengan alat sederhana, seperti tombak, tombak, dan garpu. Kemudian di perahu itu anak-anak mereka lahir, hidup, besar, menikah dan membangun perahu baru nanti,” kata Hartono yang merupakan juga dosen di Universitas Riau.
Seiring dengan perkembangan zaman, pelaut mulai tinggal di rumah panggung. Rumah-rumah di tepi laut difasilitasi langsung oleh pemerintah.
“Situasi ini saat ini sudah mulai tergerus karena banyak masyarakat yang tinggal di sekitar laut karena harus sekolah dan sebagainya. Sekarang mereka tinggal di rumah-rumah yang sudah mapan dan berbaur dengan masyarakat umum,” ujarnya.
Meski begitu, masyarakat laut masih bergantung pada laut. Hampir 95 persen hidup mereka di dalam dan dari laut.
“Masyarakat laut 95 persen bergantung pada laut. Setelah kami teliti, ternyata 95 persen masih aktif di laut, 5 persen bersekolah dan merantau,” ujarnya.
Untuk pola kesehatan, masyarakat laut masih percaya pada orang pintar atau dukun. Dimana daun sirih dan ramuan tradisional lainnya masih menjadi cara untuk mengobati orang sakit.
“Kalau kesehatan mereka bergantung pada obat tradisional, sirih yang dikunyah dan diludahkan dukun bisa menyembuhkan. Jadi itu yang membuat mereka masih bergantung pada dukun,” ujarnya.
Simak Video “4 Tokoh Masyarakat Medan Diberi Gelar Gelar Upacara Adat Melayu”
[Gambas:Video 20detik]
(ras/bpa)